Jumat, 06 Agustus 2010

Penerapan Sistem Manajemen

Single or Multi Sistem, sudahkah terasa manfaatnya?

Sistem manajemen berstandar internasional sudah cukup lama dikenal dan familiar di telinga kita (setidaknya sejak tahun 1990an).  Dalam perkembangannya banyak perusahaan menerapkan tidak hanya satu tapi beberapa sistem manajemen yang berstandar internasional dalam rangka memenuhi tuntutan pasar lokal dan global.  Sebut saja Sistem Manajemen Mutu ISO 9001, Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001, Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS 18001, Sistem Manajemen Keamanan Pangan ISO 22001, dan lain sebagainya. Penerapan standar sistem-sistem tersebut (apalagi berkelas intenasional) seyogyanya membantu perusahaan dalam mengelola proses-proses dan sumberdaya yang digunakannya dengan lebih efektif dan efisien serta mendorong kearah peningkatan yang berkesinambungan agar memiliki daya saing berkelas internasional pula, selain tentunya untuk tujuan pemenuhan persyaratan pelanggan, peraturan-perundangan serta pihak berkepentingan lainnya (stakeholder).

Namun pada kenyataannya perusahaan seringkali kewalahan dengan keberadaan sistem-sistem tersebut (satu saja sudah merepotkan apalagi jika banyak, begitu yang sering tercetus...). Personil perusahaan merasa terbebani dengan adanya beragam sistem tersebut.  Pekerjaan yang bersifat administratif menjadi mendominasi rutinitas harian, belum lagi bertambahnya kertas kerja (formulir) yang harus diisi (disiapkan) sebagai bukti pelaksanaan suatu aktivitas.  Berkurangnya fleksibilitas dan kecepatan dalam menyelesaikan suatu aktivitas juga sering dikeluhkan oleh personil lapangan karena harus ada prosedur (SOP) yang harus ditaati (terlalu birokratis katanya).

Pada level menengah, para manajer atau kepala bagian/departemen merasa dikejar-kejar oleh target/sasaran yang ditetapkan bagi bagian/departemen masing-masing.  Bukan hanya Top Manajemen yang akan terus memantau ketercapaian target/sasaran tersebut tetapi juga auditor internal dan yang "lebih menakutkan" lagi auditor eksternal.  Terkait dengan proses audit (baik internal maupun eksternal), para manajemen level menengah ini harus memastikan bahwa tidak ada masalah dalam pelaksanaan proses-proses dan kemampuan personilnya.  Semua harus dalam kondisi terkendali, personil lapangan harus paham betul apa yang dikerjakannya dan menyadari pentingnya aktivitas yang dilaksanakannya bagi tercapainya kepuasan pelanggan.

Top Manajemen sebagai penanggungjawab utama terhadap keseluruhan sistem tentu juga harus menyiapkan sejumlah personil/tim yang dapat memantau dan mengendalikan agar sistem berjalan konsisten dan sumberdaya lainnya yang biasanya membutuhkan dana yang tidak sedikit apalagi jika terkait dengan pemenuhan peraturan-perundangan yang dapat berkonsekuensi hukum apabila tidak terpenuhi.

Tentu akan menjadi sebuah keprihatianan jika banyaknya sistem yang diterapkan menyebabkan meningkatkan tekanan terhadap pekerjaan dan "kelelahan" yang secara perlahan namun pasti apabila tidak dikelola dengan baik dapat menurunkan motivasi.  Rutinitas tinggi dan pengawasan berlapis (audit internal dan eksternal, serta tinjauan manajemen) dapat menjadi beban apabila manfaat penerapan sistem-sistem tsb tidak secara nyata berdampak langsung terhadap perusahaan dan seluruh personilnya (dalam berbagai level).

Selama ini banyak keluhan yang dialamatkan kepada para sistem ini (ini memang bukan hal baru, tetapi ternyata sampai sekarang masih saja dikeluhkan).  Dalam tahap pengembangan sistem (tahap awal) saja sudah begitu menguras sumberdaya. Sistem dianggap merepotkan dan tidak terasa adanya peningkatan yang signifikan, malah menghabiskan biaya yang seharusnya bisa dialokasikan untuk kepentingan lain (apalagi investasi untuk lingkungan dan K3 yang tidak jelas pengembaliannya?!). Sistem hanya untuk kepentingan eksternal bukan internal (terbukti yang diukur hanya kepuasan pelanggan eksternal [pembeli], sedangkan pelanggan internal [karyawan] tidak pernah diperdulikan puas atau tidak puasnya).  Sistem hanya cerita diatas kertas, tapi kenyataannya jauh panggang dari api (biar gaya pake pribahasa). Beberapa dari kita malah mencurigai bahwa ini hanya akal-akalan negara maju saja (trade barrier), dan banyak lagi keluhan lainnya.

Sebelum kita menilai terlalu jauh tentang sistem-sistem yang datangnya dari negeri seberang itu, mengapa tidak kita coba mengkaji lebih mendalam apa yang menyebabkan kita tidak dapat merasakan manfaat lebih dari keberadaannya (padahal sudah beberapa kali re-sertifikasi). Yang harus kita sadari bahwa semua sistem dengan standar apapun adalah hanya sebuah alat (tidak lebih), yang manfaat dan mudharatnya bergantung pada para pemakainya dan lebih penting lagi harus diawali dengan niat yang benar (jangan hanya sekedar mengejar selembar kertas pengakuan) serta kesungguhan untuk melakukan perbaikan/peningkatan.

Selamat Berkarya...

Kamis, 05 Agustus 2010

Sistem Lacak Balak (Chain of Custody)

Sistem Pengendalian CoC-FSC



Produk furnitur Indonesia memiliki kekhasan tersendiri untuk dapat bersaing dengan produk furnitur negara lain.   Untuk memberikan nilai tambah dan meningkatkan daya saing dalam pasar ekspor, produk furnitur harus memenuhi persyaratan sebagai produk yang ramah lingkungan terutama terkait dengan kelestarian sumber bahan baku kayu (sustainable forest) dan mampu dibuktikan kemamputelusurannya (chain of custody - CoC) di sepanjang rantai pasokan (supply chain). Salah satu cara yang dilakukan oleh industri furnitur adalah menerapkan sistem CoC dengan standar FSC (forest stewardship council), dimana terdapat 3 sistem pengendalian untuk klaim produk CoC-FSC.  Dengan memformulasikan dan mensimulasikan ketiga sistem pengendalian tersebut, diharapkan industri furnitur memperoleh gambaran dan dapat memilih sistem pengendalian yang paling tepat.


Keyword: produk furnitur, chain of custody, coc, supply chain.

Ket.: Disampaikan pada acara SMART 2010, UGM, 29 Juli 2010.